class='home blog'>
  • Posted by : Satrio Blog (logika Hukum) Sabtu, 16 Januari 2016

         Bak pertandingan seru antara Cicak Vs Buaya itu yang di ibaratkan sebagai perseturuan antara Polri vs KPK , bagaimana pemimpin negeri ini saja para petinggi negeri tercinta ini saja berseteru satu sama lain , namun di balik semua perseteruan pasti ada Sesuatu yang sedang di perebutkan entah itu Jabatan atau Ingin selalu di Dahulukan , Berikut ini Kronologi cicak vs buaya :


    KRONOLOGI KASUS CICAK VS BUAYA



    Kronologi bermula dari penangkapan ketua KPK Antasari Azhar karena kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Dalam penjara, Antasari Azhar membuat testimoni tentang adanya penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar dari Direktur PT. Masaro Anggoro Widjaja oleh sejumlah pimpinan KPK yang saat itu Anggoro menjadi tersangka korupsi adanya pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) dan kemudian setelah dilakukan pemeriksaan berkas-berkas di kantornya muncul dugaan adanya penyuapan yang dilakukan oleh Anggoro untuk mendapatkan proyek dari Departemen Kehutanan mengenai pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Anggoro diduga menyuap Yusuf Erwin Faisal, mantan ketua Komisi IV DPR RI sebanyak 60.000 dollar Singapura dan Rp 75 juta yang kemudian Yusuf ditahan pada tanggal 16 Juli 2008 dan Anggoro djadikan tersangka oleh Polri pada tanggal 24 Juni 2009. Dalam testimoni tersebut juga terungkap bahwa Antasari Azhar pernah menemui Anggoro di Singapura pada tanggal 10 Oktober 2008, padahal ketika itu status Anggoro adalah dicekal oleh KPK. Dalam pertemuannya dengan Antasari Azhar, Anggoro mengaku telah mengeluarkan milyaran Rupiah atas permintaan sejumlah pimpinan KPK.
    Karena merasa testimoninya tidak ditanggapi oleh Polisi, Antasari secara resmi melaporkan dugaan suap terhadap pimpinan KPK terkait kasus yang melibatkan PT Masaro ke Polda Metro Jaya. Kemudian testimony tersebut beredar di media masa dan secara serempak tiga pimpinan KPK yang lain menolak adanya testimony yang menyebutkan mereka menerima suap sebesar 6,7 miliar dari Anggoro. Pada tanggal 9 Agustus Polri menangkap Ari Muladi terkait penerimaan dana dari PT Masaro. Dia dikenai pasal penipuan dan penggelapan. Ari awalnya mengaku sebagai orang yang memberikan suap ke pimpinan KPK, namun kemudian Ary Mulyadi mencabut pengakuannya dan menyatakan tidak pernah memberikan uang ke pimpinan KPK, tapi menyerahkannya ke pengusaha bernama Yulianto yang mengaku kenal dengan orang KPK. Pengakuan sebelumnya dibuat karena adanya pesanan dengan jaminan dirinya tidak akan ditahan.
    Pada tanggal 3 September Polri memanggil empat pimpinan KPK (Chandra M Hamzah, Bibit Samad Rianto, M Jasin dan Haryono Umar) dan empat pejabat lainnya terkait testimoni Antasari, namun KPK tidak penuhi panggilan Polri. Polisi memperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara kolektif. Chandra mencekal Anggoro, Bibit mencekal Joko Tjandra, lalu Chandra mencabut pencekalan terhadap Joko Tjandra. Pada tanggal 15 September 2009 Polisi menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka, Pasal penyalahgunaan wewenang dan pemerasan disangkakan pada keduanya. Namun keduanya hanya dikenakan wajib lapor.
    Disinilah perselisihan antara KPK dan Polri dimulai, berawal dari pengakuan Kabareskrim Mabes Polri, Komjen. Susno Duadji yang merasa teleponnya disadap oleh lembaga penegak hukum lain (KPK). Dirinya merasa seperti itu karena namanya dikaitkan dengan kasus Bank Century. Namun pihak KPK menyatakan bahwa penyadapan dilakukan hanya kepada orang yang terindikasi melakukan korupsi, dan ketika itu tepatnya tanggal 9 September 2009 salah satu petinggi KPK mengaku KPK sedang memeriksa adanya dugaan korupsi terhadap salah satu petinggi Polri. Pada suatu kesempatan, ketika dirinya diwawancara oleh wartawan Tempo, Susno Duadji mengatakan bahwa “Masa cicak kok mau melawan buaya”, kalimat itulah yang sampai sekarang dikenal dengan istilah Cicak melawan Buaya, menggambarkan dua kekuatan penegak hukum yaitu KPK vs Polisi. Kemudian kondisi tersebut diperparah dengan adanya pengakuan Kuasa hukum KPK Bambang Widjajanto, yang merasa tidak menerima salinan Bukti Acara Pemeriksaan Bibit-Chandra dan curiga ada rekayasa dalam kasus ini.
    Pada tanggal 29 Oktober, dua pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditangkap. Keduanya ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok. Polisi menilai kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-pernyataan di media serta forum diskusi. Beberapa hari sebelumnya, Transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di media massa. Isinya adalah percakapan antara Anggodo (adik Anggoro) dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percakapan pada bulan Juli-Agustus 2009 itu disebut-sebut merancang kriminalisasi KPK, yang kemudian diperdengarkan kembali dalam sidang Mahkamah Konstitusi.
    Pada 2 November 2009, Presiden SBY bentuk Tim Delapan (Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bbibt dan Chandra) yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution. Anggota tim adalah: mantan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana, mantan Dekan FHUI Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Komaruddin Hidayat dan Ketua Departemen Hukum Partai Demokrat Amir Syamsudin. Setelah melakukan peyelidikan, Tim Delapan merekomendasikan 3 hal yaitu yaitu penangguhan penahanan Bibit dan Chandra, pembebastugasan Susno, dan penahanan Anggodo Widjojo.
    Akhirnya setelah merekomendasikan tiga hal tersebut, penangguhan penahanan terhadap Bibit dan Candra dilakukan dan ketiganya bebas pada tanggal 3 November dini hari dan Polri melakukan pemeriksaan terhadap Anggodo Widjojo terkait rekaman pembicaraannya dengan sejumlah petinggi Polri dan Kejagung, dilanjutkan dengan keputusan Kabareskrim Polri Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

    PENDAPAT DAN SARAN
    Anggapan bahwa kasus Cicak VS Buaya ini merupakan konflik antar lembaga penegak hukum adalah kurang tepat, karena keduanya dalam proses menjalankan tugas-tugasnya selaku penegak hukum. Adanya indikasi bahwa salah satu petinggi Polri melakukan penyalahgunaan wewenang dalam penanganan kasus Bank Century yang membuat teleponnya disadap merupakan tindakan yang benar dan sundah mendapatkan izin. Begitu juga Polri yang menjadikan dua pimpinan KPK non aktif sebagai tersangka, karena awalnya polri mendapatkan laporan resmi dan berhak ditindaklanjuti. Polri juga melakukan penyidikan yang diikuti dengan penahanan terhadap para tersangka berdasarkan adanya Laporan Polisi yang disertai dengan bukti-bukti dan petunjuk-petunjuk yang cukup. Masalah sah atau tidaknya laporan, saksi-saksi dan atau bukti-bukti, nantinya proses peradilan yang akan mengujinya. Namun mungkin karena kedua lembaga ini sama-sama lembaga penegak hukum yang senantiasa menjaga kewibawaannya dan kehormatanya di mata masyarakat, selain itu juga yang terlibat dalam masing-masing kasus adalah petingginya, maka akan rawan melemahkan salah satu lembaga yang terbukti bersalah.
    Mengenai penangkapan Bibit dan Candra juga merupakan tindakan yang dibenarkan dalam hukum, karena mencegah terjadinya penghilangan barang bukti, melarikan diri dari hukum, penggiringann opini public terhadap kasus yang dihadapinya maka polisi melakukan penahanan. Masyarakat luas maupun pengamat banyak yang menilai bahwa adanya kasus yang melibatkan KPK dan Polri ini akan melemahkan KPK sebagai lembagai yang independen, namun menurut saya tidak karena yang bermasalah adalah dua mantan pimpinan KPK, bukan lembaganya, jadi kewibawaan KPK sebagai lembaga pemberantas koruptor tidak akan terganggu. Justru apabila terbukti bersalah, Kabareskrim Polri Susno Duadji akan merusak tatanan kewibawaan Polri di mata masyarakat, dalam kasus ini yang banyak dirugikan adalah Polri.
    Melihat peliknya masalah yang dihadapi bangsa ini, dari mulai adanya sedikit gesekan antar dua lembaga penegak hukum, hingga masalah Bank Cetury beserta aliran dana fiktif yang mencapai miliaran rupiah. Tindakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai pembentukan tim Delapan sebagai tim yang independen untuk mempereoleh fakta dan merekomendasikan tindakan yang akan diambil oleh Presiden. Saya mendukung penuh tindakan Presiden SBY yang tidak mencampuri permasalah dengan politik, karena memang permasalahan ini adalah permasalahan tindak pidana, jadi harus diselesaikan sesuai relnya, dan karena permasalahan hukum tidak bisa dicampuri dengan masalah politik karena keduanya mempunyai lahan dan fungsinya masing-masing.
    Dan himbauan kepada masyarakat, media, dan para oknum yang terkait dengann masalah ini adalah jangan membesar-besarkan masalah dengan opini-opini yang menggiring masyarakat untuk memihak salah satu pihak, karena keduanya merupakan lembaga hukum yang harus menjga kewibawaannya di mata masyarakat. Jadi sebisa mungkin tidak ada pihak yang dirugikan ataupun diuntungkan. Untuk kedua lembaga tersebut juga sebisa mungkin meyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan mekanisme yang sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku.

    PERSETERUAN ANTARA CICAK VS BUAYA BELOM BERHENTI DISITU , JILID II DI MULAI !

    Konfrontasi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) lawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini menapaki babak baru.
    Babak baru itu dimulai setidaknya sejak Calon Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi oleh KPK, Rabu (14/1/2015).
    Termutakhir, giliran Wakil Ketua KPK Bambang Widjojantodikabarkan ditangkap oleh petugas yang mengaku dari BareskrimMabes Polri, Jumat (23/1/2015).
    Menurut sumber Tribunnews, Bambang ditangkap karena diduga terlibat kasus pidana dalam Pilkada Kotawaringin dan Papua. Ia ditangkap kala mengantar buah hatinya ke sekolah.
    Rangkaian balas-berbalas penangkapan dua institusi negara ini, seakan menegaskan perseteruan Polri Vs KPK yang dulu pernah terjadi--bak bara dalam sekam--tak pernah padam: "Cicak versus Buaya" jilid II baru dimulai.
    Jejak pertikaian Cicak Vs Buaya ini bisa ditelusuri setidaknya sejak tahun 2008 silam. Berikut kronologi lengkap perjalanan perseteruan tersebut:
    15 Maret 2009: Nasrudin Zulkarnaen menjadi korban penembakan sepulang dari padang Golf Modernland, Tangerang.
    1 April 2009: Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)hendak menyergap seorang petinggi kepolisian yang diduga menerima suap. Namun penyergarapan itu urung lantaran suap batal dilakukan. Dikabarkan rencana penangkapan itu sudah sampai ke telinga Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Sejak itulah hubungan KPK-Polri menjadi kurang mesra. Dalam Laporan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto disebutkan bahwa tindakan Susno Duadji yang tersadap telah lama mengetahui hal penyadapan tersebut dan untuk mengetahui siapa penyadapnya dilakukan untuk mengesankan seolah-olah ia akan menerima sebuah tas, meski sebenarnya tas tersebut kosong tindakan ini dikatakan sebagai bentuk kontra intelijen.
    7 April 2009: Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polrimengirim surat nomor R/217/IV/2009/Bareskrim yang ditujukan untuk Direksi Bank Century yang menjelaskan bahwa soal dana milik Budi Sampoerna pemilik PT Lancar Sampoerna Bestari tak ada masalah atau tak ada unsur kriminalnya.
    17 April 2009: Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polri mengirim kembali surat untuk Direksi Bank Century yang menjelaskan jumlah uang milik Budi Sampoerna pemilik PT Lancar Sampoerna Bestari adalah berjumlah 18.000.000 dalam dollar AS.
    30 April 2009: Antasari Azhar, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarn.
    4 Mei 2009: Antasari Azhar, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditahan di Polda Metro Jaya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
    29 Mei 2009: Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polrimemasilitasi pertemuan antara pimpinan Bank Century karena setelah terdapat dua surat dari kepolisian dana tersebut tetap tidak dicairkan oleh Bank Century, dalam pertemuan tersebut disepakati antar para pihak bahwa Bank Century akan mencairkan dana Budi Sampoerna senilai 58.000.000 dalam bentuk dollar AS dari total 2.000.000.000.000 dalam bentuk rupiah. dari sinilah kemudian muncul tudingan bahwa Susno Duadji mendapat bayaran Rp 10.000.000.000 serta versi lain yang menyebutkan angka 10 persen dari nilai US$ 18.000.000.
    30 Juni 2009: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara terbuka dituduh melakukan penyadapan terhadap telepon seluler Susno Duadji dengan mengatakan bahwa ada lembaga yang telah secara sewenang-wenang menyadap telepon selulernya.
    2 Juli 2009: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dalam jumpa pers di KPK, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta mengatakan bahwa sistem penyadapan yang KPK lakukan adalah lawful interception (hanya menyadap pihak yang terindikasi korupsi). Itu digunakan untuk penegakan hukum bila merasa ada yang tersadap dan punya masalah dengan itu, datang saja ke KPK, tentu KPK menberikan penjelasan.
    6 Juli 2009: Antasari Azhar yang masih dalam rumah tahanan Polda Metro Jaya membuat Laporan Polisi NO.POL: 2008 K/VII/2009/SPK UNIT "III" mengenai tindak pidana korupsi (suap) oleh pegawai KPK yakni Pimpiman dan Penyidik KPK terkait kasus yang melibatkan PT Masaro Radiokom kepada Polda Metro Jaya.
    9 Juli 2009: KPK memasukkan Anggoro Widjojo ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia. (padahal diketahui bahwa Anggoro Widjojo masih berada di Singapura). dan Susno menegaskan, surat DPO Anggoro dari KPK tidak pernah diterimanya hingga saat ini.
    10 Juli 2009: Susno Duadji, Kabareskrim Mabes Polri, menemui Anggoro Widjojo di Singapura dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi sesuai dengan pelaporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit.[59] dan Susno Duadji mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Kapolri serta Susno Duadji menegaskan bahwa surat DPO Anggoro Widjojo dari KPK tidak pernah diterimanya.
    15 Juli 2009: Anggodo Widjojo (adik Anggoro Widjojo) disertai dengan Ary Mulyadi membuat pengakuan dirinya menyerahkan uang suap sebesar Rp. 5,1 miliar ke pimpinan KPK antara lain yakni Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto dan Mochamad Jasin dalam (dokumen kronologis 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo)
    20 Juli 2009: Ary Mulyadi membuat pengakuan dirinya menyerahkan uang suap melalui Ade Rahardja (Deputi Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) sebesar Rp. 5,1 miliar kepada pimpinan KPK antara lain yakni Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto dan Mochamad Jasin dalam (dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)
    21 Juli 2009: KPK mengumumkan mengenai temukan adanya surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro Widjojo.[61]
    4 Agustus 2009: Apa yang disebut testimoni Antasari yaitu isi rekaman dalam pertemuan tanggal 10 Oktober 2008 antara Anggoro Widjojo dan Antasari Azhar beredar di media massa.
    6 Agustus 2009: Search Wikisource Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
    Testimoni Antasari Azhar
    Tiga pimpinan KPK yakni Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto dan Mochamad Jasin dengan tegas menolak apa yang disebut dengan testimoni Antasari tersebut.
    JILID II
    9 Januari 2015: Presiden RI Joko Widodo hanya menyerahkan satu nama Calon Kapolri ke DPR RI, yakni Komjen Budi Gunawan
    13 Januari 2015: KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus penerimaan gratifikasi.
    23 Januari 2015: Bareskrim Mabes Polri mendadak menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dengan alasan terkait kasus Pilkada Kotawaringin 2010.

    CICAK VS BUAYA JILID III HUBUNGAN PRESIDEN DENGAN INSIDEN TERSEBUT :

    Kronologi Cicak Versus Buaya Jilid Tiga

    Terlepas dari proses hukum yang sedang berlangsung, perseteruan terbaru KPK dan Polri bermula dari penetapan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi.
    Symbolbild Polizei Jakarta
    Sejak menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi menuai badai politik. PDI-P yang ngotot menempatkan Gunawan sebagai orang nomer satu di Trunojoyo bergabung dengan Mabes Polri menyerang KPK. Inilah kronologi eskalasi konflik antara dua lembaga negara tersebut.

    10 Januari 2015
    Dari sembilan nama yang diajukan, Presiden Joko Widodo memilih Komisaris Jendral Budi Gunawan sebagai calon kepala kepolisian RI yang baru untuk menggantikan Komjen Sutarman. Dugaan menguat bahwa pilihan tersebut dibuat atas desakan Partai PDI-P dan ketua umumnya Megawati Sukarnoputri. Gunawan dulu dikenal dekat dengan Istana Negara saat Megawati menjadi Presiden.
    13. Januari 2015
    Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi. "Gunawan menjadi tersangka kasus Tipikor saat menduduki kepala biro kepala pembinaan karir," kata Ketua KPK Abraham Samad.

    Samad mengklaim, KPK telah "melakukan penyidikan setengah tahun lebih terhadap kasus transaksi mencurigakan," yang melibatkan Budi Gunawan. Penetapannya sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan dua alat bukti.
    (Baca: Heboh Kontroversi Korupsi Calon Kapolri Budi Gunawan)
    14. Januari 2015
    Markas besar kepolisian RI mengirimkan 60 anggota Sabhara dan Intel untuk menggeruduk kantor pusat KPK. Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Rikwanto berdalih langkah itu diambil dengan koordinasi lembaga anti rasuah itu untuk melindungi KPK. Sejumlah anggota kepolisian juga disiagakan di kediaman empat pemimpin KPK.


    Sementara itu Komisi III DPR secara aklamasi menerima Budi Gunawan sebagai calon kepala kepolisian RI setelah dinyatakan lolos dalam uji kelayakan dan kepatutan. "Terima kasih atas kepercayaan diputuskan. Amanat yang sangat berat dan saya bertekad memegang amanah tersebut sebaik-baiknya," kata Budi Gunawan menanggapi keputusan Komisi III DPR.

    Saat yang bersamaan salah seorang pemimpin KPK, Abraham Samad, diterjang isu tak sedap ihwal kedekatannya dengan Putri Indonesia 2014, Elvira Devinamira. Sebuah foto beredar di jejaring sosial menampilkan Samad sedang berciuman dengan Elvira. Belakangan diketahui foto tersebut merupakan hasil rekayasa.

    15 Januari 2015
    Dalam sidang paripurna, Dewan Perwakilan Raykat mengamini usulan Komisi III buat menunda pemilihan pemimpin KPK untuk menggantikan Busyro Muqoddas. Kursi ke-lima di pucuk pimpinan KPK itu akan diisi bersamaan dengan pergantian empat pemimpin yang lain pada akhir 2015 mendatang.
    19 Januari 2015
    Markas besar kepolisian RI mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka Komisaris Jendral Budi Gunawan oleh KPK. Gugatan tersebut dilayangkan oleh divisi hukum polri kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
    Beberapa pihak menuding, langkah hukum tersebut dibuat oleh Polri untuk memaksa KPK menunjukkan alat bukti dalam kasus Budi Gunawan.
    21. januari 2015
    Kuasa hukum Budi Gunawan, Egi Sudjana, melaporkan pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung lantaran dinilai menyalahi prosedur saat menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Surat penetapan KPK dikatakan cuma ditandatangani oleh empat pemimpin, dari yang seharusnya lima.

    22. Januari 2015
    Pimpinan KPK lagi-lagi dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri oleh kuasa hukum Budi Gunawan. Lembaga anti rasuah itu dituding membocorkan rahasia negara berupa laporan penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK ) terhadap rekening Budi Gunawan dan keluarganya. Egi Sudjana cs. juga mengajukan tuduhan pencemaran nama baik.
    Saat yang bersamaan Pelaksana Tugas Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Kristiyanto, melancarkan tudingan lain ke arah Abraham Samad. Pemimpin KPK itu menurut kesaksiannya menaruh dendam pribadi kepada Budi Gunawan. Kata Kristiyanto, upaya Samad menjadi calon wakil presiden diganjal oleh Budi Gunawan.

    23. Januari 2015
    Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengirimkan selusin pasukan bersenjata lengkap buat menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Bambang diborgol sesaat setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Penangkapan itu didasarkan pada pengaduan bekas anggota legislatif dari fraksi PDI-P, Sugianto Sabran, dengan tudingan mendalangi kesaksian palsu dalam sengketa pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah, 2010 silam.

    "Terlapor diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah," ujar Rikwanto, dari Divisi Humas Mabes Polri. Bambang terjerat Pasal 242 juncto Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena menyuruh memberikan keterangan palsu dalam pengadilan. Dia terancam hukuman pidana 7 tahun (Baca: Polri Serang Balik KPK, Jokowi Angkat Tangan)
    Pada hari yang sama Presiden Joko Widodo menyatakan tidak akan mencampuri perseteruan dua lembaga. Setelah menerima pimpinan Polri dan KPK, Istana Negara cuma mengimbau kedua lembaga agar bersikap obyektif.

    24 Januari 2015
    Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja diadukan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri atas dugaan pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber.

    25. Januari 2015
    Presiden Joko Widodo membentuk tim tujuh buat mengurai kericuhan antara Polri dan KPK. Tim tersebut beranggotakan antara lain bekas Wakapolri, Oegroseno, Jimmly Asshidique, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas

    26 Januari 2015
    Setelah Adnan Pandu, kini gilirian Wakil Ketua KPK Zulkarnaen yang diadukan ke kepolisian. Ia terjerat dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008. Serupa dengan kasus lain yang menjerat pimpinan KPK, tudingan terhadap Zulkarnaen beraroma politis.


    Sumber : http://akbar-cobamenulis.blogspot.co.id/2010/01/kronologi-kasus-cicak-vs-buaya.html
                  http://www.tribunnews.com/nasional/2015/01/23/cicak-versus-buaya-jilid-ii-dimulai-i
                  http://www.dw.com/id/kronologi-cicak-versus-buaya-jilid-tiga/a-18211420

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © - Logika Hukum (Universitas Djuanda)

    Logika Hukum (Universitas Djuanda) - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan